Kamis, 31 Maret 2011

Kreasi Unik Kerajinan Daun Kelapa

Daun kelapa atau blarak (bahasa jawa) ternyata bisa dibuat kerajinan yang unik dan bernilai jual tinggi. Blarak yang biasa digunakan sebagai pengganti kayu bakar ini ternyata bisa disulap menjadi produk kreatif yang mampu menembus pasar ekspor. Hal itulah yang sudah ditekuni oleh Bapak Dwi Hartanto (35) selama 20 tahun, yang fokus menekuni produksi aneka kerajinan berbahan dasar blarak dan berbagai serat alam lainnya. Di tangan kreatif seperti Pak Tanto itulah, aneka produk kreatif dan unik bisa dihasilkan dengan bahan baku alam yang melimpah di sekitar kita. Dengan mendirikan CV Citra Alam, Pak Tanto mampu menampung anak-anak muda yang ada di sekitar rumahnya sebagai tenaga produksi. Ditemui di rumahnya, Senin (21/3), Pak Tanto yang diwakili salah satu tenaga produksinya Topan (27) mengaku usaha kreatifnya tersebut diperoleh secara otodidak dengan mengembangkan produk dari blarak.
“Pada awal mulanya kita langsung fokus di kerajinan blarak, dan itu menjadi andalan produk kami sampai saat in. Kemudian karena adanya permintaan pasar, kami juga memproduksi aneka bahan serat alam lainnya,” kata Topan di lokasi produksi Dusun Cawan Argodadi Sedayu Bantul. Berbekal peralatan manual yang dimilikinya, sampai saat ini Citra Alam sudah memiliki ratusan produk kerajinan aneka jenis. Produk-produk tersebut antara lain pigura, box, trapesium, mirror, souvenir, tempat pakaian bekas, dll. Dibantu 5 orang tenaga produksi tetapnya, pesanan selalu mengalir dalam setiap mingggunya. Terlebih dengan menggandeng 6 perusahaan trading, kini produk-produk Citra Alam sudah merambah pasar ekspor ke Jepang dan negara-negara Eropa. Dengan tingkat pesanan yang tinggi, Topan mengakui Citra Alam sering kualahan dalam memenuhi pesanan tersebut. Untuk itu, jam kerja karyawan di Citra Alam saat ini dibagi menjadi 2 shift agar bisa memenuhi produksi sesuai dengan pesanan. Makin tingginya tingkat persaingan pasar akan produk-produk berbahan baku alam, maka Citra Alam juga mengembangkan produk serupa sesuai dengan pesanan. “Selain blarak, kami juga mengembangkan produk berbahan dasar pandan, eceng gondok, agel, lidi dan serat alam lainya,” imbuh Topan sembari menunjukkan produk-produknya. Dengan aneka produk yang kini diproduksi tersebut, maka selain memenuhi permintaan ekspor Citra Alam juga memasarkan produknya di beberapa toko kerajinan yang ada di wilayah Jogja. Meskipun tidak sebesar permintaan ekspornya, namun dengan rutin mengirimkan produknya tersebut, Citra Alam mengaku bisa memperolah omzet hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya. Harga yang ditawarkan Citra Alam adalah Rp.8.000,00-Rp.17.000,00 per produknya. Dengan harga tersebut, Topan mengaku jika selama ini kualitas produklah yang menjadi patokan utama pihaknya dalam menciptakan aneka produk kerajinan. Selain itu, kekayaan ide kreatif produknya tersebut juga menjadi salah satu andalan Citra Alam ketika melakukan pemasaran aktif. Diakui Topan, Pak Tanto sebagai leader di usaha tersebut tidak lelah menawarkan produknya ke berbagai pihak. Terlebih, dengan ide baru yang terus muncul menjadikan produk Citra Alam tidak monoton hanya itu-itu saja. Berbagai pameran tingkat lokal hingga nasional juga sering menjadi ‘senjata’ Citra Alam dalam memasarkan produk kreatifnya. Meskipun tidak jarang hanya produknya saja yang ikut ke pameran, namun diakui Topan hal tersebut cukup efektif dalam membantu memperkenalkan produk Citra Alam ke masyarakat. Dengan tingkat persaingan yang cukup ketat dalam bisnis produk kreatif seperti itu, Topan tetap optimis dengan menomor satukan kualitas produknya, Citra Alam akan mampu bertahan dan menghasilkan produk yang semakin inovatif. 
sumber http://bisnisukm.com

Read More..

Kreatif dan Inovatif dengan Produk Kertas Daur Ulang

Kertas daur ulang (recycle) saat ini bukan menjadi produk yang asing lagi. Beragam produk kerajinan dan souvenir yang menggunakan kertas daur ulang sebagai bahan baku utamanya banyak ditemukan di berbagai tempat. Salah satu lokasi produksi yang sekaligus sebagai lokasi pemasaran (toko) produk-produk kertas daur ulang adalah SEBAR recycle paper. Berlokasi di Jalan Kapt. Tendean 12 Yogyakarta, berbagai produk kertas daur ulang seperti aneka souvenir pernikahan, undangan pernikahan, pigura, stopmap, box tissue, dan kertas daur ulang itu sendiri bisa kita dapatkan dengan harga terjangkau. Adalah Bapak Teguh ‘itox’ Wiyono yang sejak tahun 1999 menekuni produksi kertas daur ulang berbagai ukuran dan jenis. Berawal dari ikut pelatihan tentang daur ulang kertas yang diadakan intansi pemerintah, kini bapak berputra dua tersebut sering diundang menjadi trainer untuk pelatihan kertas daur ulang di berbagai wilayah.
Dengan dibantu empat orang tenaga produksi, SEBAR recycle paper memproduksi beragam produk kertas daur ulang dengan campuran serat alam seperti eceng gondok, pandan, dan pelepah pisang. Menurut Pak Itox, saat ini industri kertas daur ulang secara umum mengalami penurunan permintaan. “Produk-produk olahan dari kertas daur ulang kebanyakan sama dan monoton, hanya itu-itu saja, sehingga ketika kita ingin terus bisa eksis dalam usaha tersebut harus pintar dalam menciptakan inovasi produk baru,” kata Pak Itox. SEBAR recycle paper sendiri saat ini hanya memenuhi permintaan dalam setiap produksinya. Meskipun begitu, omset yang didapatkan SEBAR recycle paper setiap bulannya mencapai 15-25 juta rupiah. Proses pembuatan kertas daur ulang tidaklah sulit, hanya diperlukan alat seperti blender, screen berkasa dan tanpa kasa, ember, alat penyaring, busa, dan kain bekas. Adapun bahan-bahan yang digunakan antara lain kertas atau koran bekas, pewarna, serat alam (eceng gondok, pandan, pelepah pisang), dan pengharum. Untuk proses pembuatannya sebagai berikut: Kertas bekas disobek atau dipotong-potong kecil Kemudian direndam dalam air beberapa saat lalu diremas-remas sampai setengah hancur Kemudian kertas tersebut dihancurkan kembali dengan penambahan air menggunakan blender . perbandingan antara kertas dan air 1:1 Masukkan bubur kertas ke dalam ember yang telah diisi air bersih (tiap 250 gr bubur kertas membutuhkan 5 liter air bersih). Kebutuhan air bisa disesuaikan, tergantung dari ketebalan kertas yang diinginkan. Campuran bubur tersebut dicampur menggunakan lem kanji untuk menghasilkan kertas yang tidak mudah sobek (setiap 250 gr bubur kertas dicampur 10-15 gr lem kanji). Penambahan warna dapat dilakukan untuk menghasilkan kertas berwarna. Untuk kertas daur ulang yang bermotif bisa dilakukan dengan menambahkan serat alami. Untuk menambah keharuman kertas, maka dapat ditambahkan pengharum. Setelah adonan selesai disiapkan, masukkan semua screen ke dalam adonan. Angkat screen dan biarkan air menetes. Setelah air menetes beberapa waktu, lepaslah screen tanpa kasa dan letakkan diatas papan/meja. Hilangkan air pada kasa dengan busa. Setelah screen tidak lagi mengandung air, screen kemudian diangkat. Sediakan alas kain untuk meletakkan adonan kertas yang telah pipih. Jemur kertas dibawah sinar matahari kemudian segera disetrika hingga kering dan permukaannya halus. Harga yang ditawarkan SEBAR recycle paper cukup terjangkau untuk ukuran kreatifitas dan inovasi yang unik. Hanya dengan Rp.2.500,00-Rp.80.000,00 per produk, beragam kerajinan dan souvenir kertas daur ulang bisa kita miliki. Sementara untuk satu lembar kertas daur ulang dihargai Rp.5.000,00. Tahun 2003-2006 menjadi masa-masa kejayaan bagi SEBAR recycle paper. Dalam kurun waktu tersebut, produk kertas daur ulangnya sampai tembus ke Eropa. “Tahun tersebut kami biasa melayani orderan sampai Spanyol, Denmark, dan negara Eropa yang lainnya,” jelas Pak Itox tentang pemasaran produknya. Namun sejak terjadi gempa bumi Jogja tahun 2006, kini pasaran ekspor sudah tidak mendapatkan lagi permintaan dari luar negeri. Produksi yang sehari-hari dijalani beliau dan karyawannya hanya memenuhi permintaan dari Jogja dan sekitarnya. Meskipun begitu, dengan keteguhan dan kreatifitasnya dalam menghasilkan produk-produk unik dan menarik, beliau yakin usahanya tersebut akan kembali ke puncak jayanya. sumber http://bisnisukm.com

Read More..

Renyah dan Enaknya Manggleng ‘RENA’

Bagi Anda yang hobi ngemil pasti tidak asing lagi dengan produk camilan yang satu ini. Manggleng/ menggleng/ grosok menjadi camilan yang cocok untuk menemani waktu santai bersama keluarga. Rasanya yang gurih dan renyah menjadikan makanan berbahan baku ketela pohong tersebut banyak digemari berbagai kalangan. Hal itulah yang diakui oleh Ibu Nur Widatik (38) yang sejak tahun 1996 menekuni produksi camilan menggleng. Menurut Ibu dua orang putri tersebut, manggleng bisa menjadi menu camilan yang bisa dinikmati kapan saja dan dimana saja berada. Ditemui di rumahnya Kamis (17/3), Ibu Nur menuturkan awal mula menekuni bisnis camilan manggleng tersebut ketika masih berada di Muntilan. Waktu itu, Ibu Nur sering melihat dan menikmati manggleng buatan ibunya yang renyah dan enak. “Sering ibu membuat manggleng untuk camilan keluarga di rumah, karena rasanya yang renyah dan enak maka saya mencoba untuk belajar tentang proses pembuatannya,” kata Ibu Nur.
Berbekal resep warisan ibunya tersebut, kemudian Ibu Nur memberanikan diri untuk memproduksi dan menawarkan manggleng ke beberapa rekannya. Respon positif yang diterima Ibu Nur terhadap mangglengnya tersebut menjadi titik awal beliau untuk fokus dan menekuni usaha memproduksi manggleng. Diakui Ibu Nur, memproduksi camilan seperti manggleng sangat tergantung dari cuaca. Hal tersebut karena dalam proses pengeringannya menggunakan cahaya matahari. “Ketika cuaca panas, kami biasa memproduksi 20-25 kg, namun ketika hujan seperti akhir-akhir ini, kami hanya memproduksi 10-15 kg setiap harinya,” terang Ibu Nur ditemani salah seorang tenaga produksinya. Menggunakan nama “RENA” yang berarti renyah dan enak sebagai label produknya, Ibu yang juga membuka usaha kos-kosan tersebut saat ini mengaku kualahan dalam memenuhi permintaan konsumennya. Meskipun tidak melakukan pemasaran secara aktif, namun produk manggleng “RENA” saat ini sudah memiliki pelanggan yang rutin membeli camilan tersebut setiap harinya. “20 bungkus dibawa suami ke rekan kerjanya, sementara di rumah juga sudah antri 7 orang penjual yang rutin mengambil manggleng dari kami, dan itu rutin setiap hari,” imbuh Ibu Nur. Saat ini di rumahnya Gunungketur Yogyakarta, Ibu Nur dibantu seorang tenaga produksinya mulai memproduksi manggleng dari pagi sampai sore hari. Ketela pohong sebagai bahan bakunya beliau beli dari Pasar Ketela Karangkajen setiap 2 hari sekali sebanyak 50 kg. Proses produksinya, ketela pohong tersebut awal mulanya dikupas lalu dikukus. Ketela yang sudah dikukus kemudian diiris manual dengan pisau tipis-tipis. Setelah itu dilakukan penjemuran, baru dilakukan penggorengan. Bumbu yang digunakan juga sederhana, berupa bawang dan garam. Dari hasil penggorengan itu, manggleng-manggleng kemudian dikemas dengan menggunakan plastik ukuran ¼ kg sampai 3 kg. Dengan harga jual Rp.5.000,00 per ¼ kg, Ibu Nur mengaku bisa meraih omzet per bulannya sebesar Rp.2.500.000,00. Dan untuk kedepannya, beliau berharap bisa meningkatkan kapasitas produksinya agar mampu memenuhi permintaan produk mangglengnya yang makin meningkat. Dan ternyata, untuk bisa sukses kita tidak perlu menghasilkan produk yang muluk-muluk, terbukti dengan produk sederhana seperti manggleng, Ibu Nur bisa bertahan dan tetap eksis sampai saat ini. sumber http://bisnisukm.com

Read More..

Sukses Menjalankan Bisnis Kulit dan Natural Handicraft

Memadukan produksi kerajinan dari bahan baku kulit dengan bahan baku lain seperti serat alam pandan, mendong, enceng gondok, agel dan lidi ternyata bisa menghasilkan keuntungan yang luar biasa. Dengan bahan baku yang beragam tersebut, maka produk yang dihasilkan juga memiliki variasi yang beragam pula. Hal itulah yang sejak tahun 1971 ditekuni oleh Ibu Siti Galwati (57), seorang pengusaha sukses di bidang kerajinan yang berasal dari Manding Bantul Yogyakarta. Mengusung SEAGA sebagai nama usahanya, produk-produk yang dihasilkan kini tersebar hingga ke beberapa negara seperti Amerika, Australia, Selandia Baru, Meksiko, Spanyol, Perancis, Oman, Belanda, Inggris, Singapura, Thailand, dan beberapa negara lainnya.
Ditemui di rumahnya Selasa (15/3), Ibu Siti mengungkapkan jika pada awalnya beliau menggeluti usaha dibidang modiste dan kulit. Terlebih di daerah Manding selama ini sudah dikenal sebagai sentra kerajinan kulit yang sudah tersohor hingga ke mancanegara. Namun, dalam menjalankan usahanya tersebut, banyak jalan berliku yang harus dilalui Ibu dua orang putri tersebut. “Sekitar tahun 80’an usaha kulit sempat vacum karena mahalnya bahan baku, kemudian saya menekuni usaha modiste hingga tahun 1993,” kata Ibu Siti. Dan dua tahun setelah menghentikan usaha modistenya, usaha kulit Manding ternyata bangkit lagi. Sehingga tahun 1995 tersebut menjadi titik balik bagi Ibu Siti membangun bisnisnya kembali. Dengan dibantu manajemen yang lebih solid, usaha yang sebelumnya berkonsentrasi pada kerajinan kulit mulai melakukan diversifikasi dan diferensiasi produk dengan mengembangkan produk-produk baru dari bahan alami seperti: bagor, eceng gondok, pandan, mendong, seagrass, agel, bungkus chiki, rotan, bambu, batu, serat goni, pelepah pisang, dan masih banyak lagi. Pada tahun 1996, usaha yang kemudian diberi nama SEAGA tersebut sudah memiliki lebih 150 jenis produk kerajinan dari bahan dan jenis yang bervariasi. Proses pemasaran yang pada mulanya hanya skala lokal kemudian dialihkan lebih luas, yaitu dengan bekerjasama dengan para trader lokal, nasional, dan internasional untuk membantu proses pemasarannya. Seiring dengan perkembangan usaha yang semakin pesat, SEAGA juga berkali-kali berhasil memenangkan berbagai penghargaan di tingkat lokal dan nasional. Beberapa penghargaan yang pernah didapatkan antara lain: juara lomba manajemen tingkat nasional tahun 2000 dan masuk 50 besar sebagai urutan ke-14 dengan kategori UKM yang terbaik dalam hal inovasi, pemasaran, produksi dari Enterprise 50. “Kami juga pernah memperoleh penghargaan karena menjadi supplier dengan item produk terbanyak pada tahun 2002,” tambah Ibu Siti tentang prestasinya. Dengan permintaan produk yang semakin meninggi, kebutuhan akan tenaga kerja juga menjadi hal yang penting bagi SEAGA. Penambahan tenaga produksi dilakukan bertahap sesuai dengan kebutuhannya. Sampai pada tahun 2001, SEAGA pernah memiliki tenaga kerja hingga 445 orang. Dengan banyaknya tenaga kerja tersebut, SEAGA kemudian mendirikan anak perusahaan yang mengurusi masing-masing bidang, yaitu Hamparan Seaga yang menangani eceng gondok, pandan, mending, agel, dan seagrass; serta anak perusahaan yang satunya menangani pemotongan karton. Kedua anak perusahaan tersebut kini dipegang oleh putri-putri dari Ibu Siti. Kesuksesan yang diperoleh Ibu Siti juga bisa dilihat dari omset yang diperoleh perusahaannya. Menurut Ibu Siti, rata-rata omset yang diperoleh per tahunnya sebesar 1,2 milyar. Dengan omset sebesar itu, saat ini SEAGA mulai mengembangkan sayap pemasaran hingga ke Kalimantan. “Selain workshop yang ada di Manding dan Pasar Seni Gabusan, kini kami mencoba memasarkan produk kami di salah satu mall di Kalimantan,” imbuh Ibu Siti. Meskipun pernah mengalami kerugian besar ketika terjadi musibah gempa bumi Bantul tahun 2006, namun dengan optimisme tinggi dan tidak mau terpuruk terlalu lama, SEAGA mampu bangkit hanya dua bulan pasca gempa. Dan di tahun 2011 ini, aneka produk yang diproduksi SEAGA antara lain tempat tissue, megazine holder, tempat korek, frame/ pigura, tempat pakaian kotor, sandal, bunga, bandul, dompet, tas, sepatu, lilin, tempat pensil, karpet, bantal, round container, tikar, alas Makan, box, tempat coklat dan lain-lain. Di akhir wawancaranya dengan tim bisnisUKM, Ibu Siti berharap untuk terus bisa berinovasi dan berkreasi di usianya yang sudah tidak muda lagi. Dan saat ini, Ibu yang sudah memiliki 4 orang cucu itu sangat yakin bahwa putra-putrinya mampu melanjutkan bisnis kerajinan yang sudah dirintisnya puluhan tahun yang lalu.
sumber http://bisnisukm.com

Read More..

Menekuni Produksi Piring Kertas dan Boneka Flannel

Ketika Anda sering menghadiri pesta maupun hajatan pernikahan, pastinya tidak asing lagi dengan benda yang satu ini. Piring kertas atau orang lebih sering menyebutnya piringan kertas menjadi benda yang sering digunakan untuk alas menu makanan dan buah-buahan. Dan tahukah Anda, bahwa memproduksi piring kertas tersebut ternyata bisa menjadi peluang usaha yang menjanjikan. Hal itulah yang sejak tahun 1995 ditekuni oleh Nur Hidayat (42), bapak berputra empat ini memproduksi piring kertas di rumahnya Klitern Lor GK3/ 298 RT.16 RW.04 Gondokusuman Yogyakarta. Ditemui di rumahnya Sabtu (12/3), pria asli Semarang ini berujar bahwa kemampuan yang dia miliki sebagai pembuat piring kertas didapatnya ketika masih tinggal di kampung halaman. “Saat itu di kampung saya mayoritas penduduknya sebagai pembuat piring kertas, dan dari situlah saya mulai belajar secara otodidak tentang bagaimana prosesnya,” kata Nur Hidayat yang ditemani seluruh anggota keluarganya.
Dari hasil belajarnya itu, kemudian Nur Hidayat mengembangkan usaha pembuatan piring kertas secara sederhana. Dengan mengusung nama Ria Collection, kini Nur Hidayat menjadikan bisnis piring kertas tersebut menjadi produksi pokok keluarganya. Pada proses produksinya, bahan baku yang digunakan juga sederhana, yaitu menggunakan kertas manila yang mudah didapatkan di toko-toko kertas. Kertas manila yang berupa lembaran-lembaran tersebut dipotong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. “Kami biasanya kulakan kertas dalam jumlah yang banyak, sekalian dipotongkan sesuai dengan ukuran piring kertas, sehingga tinggal proses finishingnya yang kami kerjakan sendiri,” penjelasan Nur Hidayat tentang proses produksinya. Potongan-potongan kertas itulah kemudian dipress dengan menggunakan mesin press yang dibuat sendiri oleh Nur Hidayat. Dari hasil rutin produksi, Nur Hidayat mengaku bisa menghasilkan 200 pack piring kertas setiap harinya (per pack berisi 50 buah). Saat ini Ria Collection memproduksi tiga jenis piring kertas, yaitu piring kertas kotak berwarna, piring kertas panjang berwarna, dan piring kertas kotak putih. Harga yang diwarkan juga sangat terjangkau, yaitu Rp.1.250,00 sampai dengan Rp.2.000,00 per pack. Nur Hidayat mengaku bahwa produk piring kertasnya sudah dipasarkan melalui agen reseller yang sudah 5 tahun menjalin kerjasama dengannya. Setiap 3 hari sekali, Nur Hidayat menyetor 1.000 pack kepada agennya tersebut. Dari permintaan rutin tersebut, saat ini Nur Hidayat harus mempekerjakan seorang tenaga produksi untuk membantu proses produksinya. Tidak jarang ketika permintaan banyak, dia dan istrinya harus rela lembur untuk memenuhi permintaan itu. “Permintaan saat ini stabil, namun ada kalanya juga sepi order, terutama ketika Bulan Ramadhan dan Bulan Syuro,” imbuh Nur Hidayat yang juga menjabat ketua RT di wilayahnya. Untuk menyikapi persaingan yang ketat dan harga bahan baku kertas yang tidak stabil, Nur Hidayat mengaku harus pintar-pintar dalam berinovasi menciptakan produk. Sehingga, selain memproduksi rutin piring kertas, kini beliau juga rutin memproduksi kerajinan dari kain flannel. Produksi kerajinan dari kain flannel tersebut sudah dijalaninya selama 10 tahun. Dibantu istri dan 3 orang tetangganya, Nur Hidayat fokus dalam membuat kerajinan kain flannel terutama boneka flannel. Boneka dari tokoh-tokoh kartun dan binatang yang lucu menjadi ide kreatif tersendiri baginya dan keluarga. Bahkan Nur Hidayat mengaku, saat ini produk boneka yang bisa diberi nama pembelinya masih sangat jarang ditemui. Sehingga, selain piring kertas tadi, boneka flannel itu juga menjadi produk andalan yang dipasarkannya melalui event Sunday Morning di kampus UGM Yogyakarta. Dengan dua produk andalannya itu, Nur Hidayat mengaku tidak terbebani dalam hal produksinya. Terlebih, untuk produksi boneka flannelnya, beliau juga dibantu oleh tetangganya sebagai tenaga jahit. Dalam sehari, 50 boneka flannel beragam jenis mampu diproduksi Ria Collection. “Pemasaran produk boneka flannel selain di Sunday Morning UGM juga kami lakukan di pameran-pameran dan lapak kami di Jalan Solo setiap malam hari,” jelas Nur Hidayat. Di akhir wawancaranya, Nur Hidayat berharap dalam waktu dekat bisa memiliki toko permanen yang bisa dia jadikan lokasi pemasarannya. Meskipun terkendala modal, namun dengan niat dan ketekunan yang beliau miliki, harapan besarnya tersebut bisa segera terwujud. Sumber http://bisnisukm.com

Read More..

Bertahan Dengan Kue Tradisional Kipo

Menekuni usaha resep tradisi keluarga menjadi hal yang membanggakan bagi Ibu Surepti (43) dan keluarganya. Berawal dari pengalaman membantu pembuatan kue kipo milik saudaranya, kini Ibu Surepti mampu merintis usahanya sendiri. Tahun 1995 menjadi awal Ibu Surepti memutuskan untuk merintis usaha sendiri sebagai pembuat kue tradisional kipo yang dikenal sebagai makanan khas kotagede Yogyakarta. Bersama dengan suaminya, usaha pembuatan kipo tersebut menjadi mata pencaharian pokok bagi ibu berputra tiga tersebut. Kipo sendiri merupakan makanan berbahan baku tepung beras ketan, gula merah, parutan kelapa, dan daun katu sebagai pewarnanya. Menurut Ibu Surepti, kipo sudah ada sejak jaman nenek moyang dahulu. “Dinamai kipo konon karena dahulu kue ini belum ada namanya, sehingga banyak orang bilang iki opo? (ini apa?), kemudian lahirlah nama kipo yang berasal dari kata iki opo tadi,” kata Ibu Surepti ketika ditemui di rumahnya Bodon Jagalan Banguntapan Bantul (8/3). Proses pembuatan kue kipo sendiri termasuk mudah, namun butuh ketelatenan dalam takaran bahan yang digunakan. Tiap sekali produksi, Ibu Surepti menggunakan parutan kelapa 5 kg, gula jawa 3 kg, dan tepung beras ketan 5 kg. Bahan dengan tekaran tersebut akan menghasilkan 500 buah kue kipo. Untuk proses pembuatannya, gula jawa yang dijadikan isian dilarutkan terlebih dahulu dengan direbus. Kemudian dicampur parutan kelapa dengan digoreng. Adonan tepung beras ketan yang telah diberi pewarna alami daun katu kemudian dipipihkan sesuai dengan ukuran standarnya. Gula jawa yang telah dicampur parutan kelapa tadi kemudian dimasukkan dalam tepung ketan yang sudah dipipihkan. Setelah itu digulung, lalu dibakar di atas penggangan beralasakan seng dan daun pisang. Menurut Ibu Surepti, saat ini beliau dibantu oleh suaminya rutin memproduksi kue kipo setiap hari. Kue kipo tersebut kemudian dipasarkannya melalui sistem ‘titip jual’ di pedagang makanan yang ada di Pasar Kotagede dan perempatan Tamansari Yogyakarta. “Untuk pasar kotagede, kami nitipnya tiap pagi dan sore hari, dengan rata-rata 150-200 buah kipo sekali nitip,” imbuh Ibu Surepti tentang pemasarannya. Saat ini, dengan jumlah produksi rata-rata per hari 250-400 buah kipo, Ibu Surepti dan suaminya mengaku sudah kualahan. Sehingga, ketika ada pesanan dengan jumlah besar, biasanya beliau ‘membagi’ dengan pembuat kipo lain yang juga masih kerabatnya. “Biasanya untuk pesanan berasal dari hajatan pernikahan atau rapat-rapat instansi pemerintah,” tambah Ibu Surepti. Harga satu bungkus kipo tersebut adalah Rp.1.000,00 yang berisi 5 buah kipo. Harga tersebut juga disesuaikan dengan harga bahan baku yang berubah-ubah dan mengalami peningkatan. Dalam sehari, Ibu Surepti mengaku bisa memperoleh omset penjualan Rp.400.000,00. Namun, ketika ada moment seperti bulan ramadhan dan liburan sekolah, omzet yang diperoleh bisa lebih besar lagi. Dengan kue kiponya tersebut, Ibu Surepti sering juga diundang dalam pameran-pameran yang diadakan dinas terkait di wilayah Jogja dan Bantul. Bahkan beliau juga pernah mengikuti Gelar Potensi Industri Kreatif Produk UMKM Jogja di Taman Pintar. Ibu Surepti mengaku bangga, dengan berbekal kue kipo tersebut, selain bisa melestarikan makanan tradisional, beliau juga bisa menyekolahkan putra-putrinya hingga ke jenjang tinggi.
Sumber http://bisnisukm.com

Read More..